Hakikat Nilai dan Moral serta Sosialisasinya dalam Kehidupan Masyarakat

A. Nilai

Pengertian Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian, maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya. Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan.

Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan karya. Alport mengidentifikasikan 6 nilai-nilaiyang terdapat dalam kehidupan masyarakat, yaitu : nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan nilai religi. Hierarki nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu –masyarakat terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai material.

Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilai-nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu :

1. Nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa senang, menderita atau tidak enak,

2. Nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni : jasmani, kesehatan serta kesejahteraan umum,

3. Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan dan pengetahuan murni,

4. Nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci.

Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu :

1. Nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia,

2. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan,

3. Nilai kerohanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rohani manusia yang dibedakan dalam empat tingkatan sebagai berikut :

a. nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta manusia

b. nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia

c. nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusiad.

d. nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak.

Nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.

B. Moral

Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral.

Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang benar, baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Pengertian Norma adalah perwujudan martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama

C. Norma Sosial

Dikatakan bahwa nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Wujud nyata dari hubungan antara nilai dan moral tercerminkan pada norma sosial.

Norma sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan.
Norma tidak boleh dilanggar. Siapa pun yang melanggar norma atau tidak bertingkah laku sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam norma itu, akan memperoleh hukuman. Misalnya, bagi siswa yang terlambat dihukum tidak boleh masuk kelas, bagi siswa yang mencontek pada saat ulangan tidak boleh meneruskan ulangan.

Norma merupakan hasil buatan manusia sebagai makhluk sosial. Pada awalnya, aturan ini dibentuk secara tidak sengaja. Lama-kelamaan norma-norma itu disusun atau dibentuk secara sadar. Norma dalam masyarakat berisis tata tertib, aturan, dan petunjuk standar perilaku yang pantas atau wajar.

1. Tingkatan Norma Sosial

Berdasarkan tingkatannya, norma di dalam masyarakat dibedakan menjadi empat:

a. Cara (usage).

Cara adalah suatu bentuk perbuatan tertentu yang dilakukan individu dalam suatu masyarakat tetapi tidak secara terus-menerus.
Contoh: cara makan yang wajar dan baik apabila tidak mengeluarkan suara seperti hewan.

b. Kebiasaan (Folkways)

Kebiasaan merupakan suatu bentuk perbuatan berulang-ulang dengan bentuk yang sama yang dilakukan secara sadar dan mempunyai tujuan-tujuan jelas dan dianggap baik dan benar. Contoh: Memberi hadiah kepada orang-orang yang berprestasi dalam suatu kegiatan atau kedudukan, memakai baju yang bagus pada waktu pesta.

c. Tata kelakuan (Mores)

Tata kelakuan adalah sekumpulan perbuatan yang mencerminkan sifat-sifat hidup dari sekelompok manusia yang dilakukan secara sadar guna melaksanakan pengawasan oleh sekelompok masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Dalam tata kelakuan terdapat unsur memaksa atau melarang suatu perbuatan. Fungsi mores adalah sebagai alat agar para anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut. Contoh: Melarang pembunuhan, pemerkosaan, atau menikahi saudara kandung.

d. Adat istiadat (Custom)

Adat istiadat adalah kumpulan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya. Koentjaraningrat menyebut adat istiadat sebagai kebudayaan abstrak atau sistem nilai. Pelanggaran terhadap adat istiadat akan menerima sanksi yang keras baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya orang yang melanggar hukum adat akan dibuang dan diasingkan ke daerah lain.

2. Macam Norma Sosial

Norma sosial di masyarakat dibedakan menurut aspek-aspek tertentu tetapi saling berhubungan antara satu aspek dengan aspek yang lainnya. Pembagian itu adalah sebagai berikut :

a. Norma agama

Norma agama berasal dari Tuhan, pelanggarannya disebut dosa
Norma agama adalah peraturan sosial yang sifatnya mutlak sebagaimana penafsirannya dan tidak dapat ditawar-tawar atau diubah ukurannya karena berasal dari
Tuhan. Biasanya norma agama tersebut berasal dari ajaran agama dan kepercayaan-kepercayaan lainnya (religi). Pelanggaran terhadap norma ini dinamakan dosa.
Contoh: Melakukan
sembahyang kepada Tuhan, tidak berbohong, tidak boleh mencuri, dan lain sebagainya.

b. Norma kesusilaan

Norma kesusilaan adalah peraturan sosial yang berasal dari hati nurani yang menghasilkan akhlak, sehingga seseorang dapat membedakan apa yang dianggap baik dan apa pula yang dianggap buruk. Pelanggaran terhadap norma ini berakibat sanksi pengucilan secara fisik (dipenjara, diusir) ataupun batin (dijauhi).

Contoh: melecehkan wanita atau laki-laki didepan orang.

c. Norma kesopanan

Norma kesopanan adalah peraturan sosial yang mengarah pada hal-hal yang berkenaan dengan bagaimana seseorang harus bertingkah laku yang wajar dalam kehidupan bermasyarakat. Pelanggaran terhadap norma ini akan mendapatkan celaan, kritik, dan lain-lain tergantung pada tingkat pelanggaran. Contoh: Tidak meludah di sembarang tempat, memberi atau menerima sesuatu dengan tangan kanan, kencing di sembarang tempat

d. Norma kebiasaan

Norma kebiasaan adalah sekumpulan peraturan sosial yang berisi petunjuk atau peraturan yang dibuat secara sadar atau tidak tentang perilaku yang diulang-ulang sehingga perilaku tersebut menjadi kebiasaan individu. Pelanggaran terhadap norma ini berakibat celaan, kritik, sampai pengucilan secara batin. Contoh: Membawa oleh-oleh apabila pulang dari suatu tempat, bersalaman ketika bertemu.

e. Kode etik

Kode etik adalah tatanan etika yang disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Contoh: kode etik jurnalistik, kode etik perwira, kode etik kedokteran. Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila ada kode etik yang memiliki sangsi yang agak berat, maka masuk dalam kategori norma hukum.

Norma agama dan norma kesusilaan berlaku secara luas di setiap kelompok masyarakat bagaimanapun tingkat peradabannya. Sedangkan norma kesopanan dan norma kebiasaan biasanya hanya dipelihara atau dijaga oleh sekelompok kecil individu saja, sedangkan kelompok masyarakat lainnya akan mempunyai norma kesopanan dan kebiasaan yang tersendiri pula.

D. Sosialisasi Nilai-Nilai Moral

Kontradiksi dan disintegrasi antara pendidikan nilai moral di ruang sekolah (kadang nilai ini tidak pernah ditanamkan!) dan keadaan dalam masyarakat muncul karena beberapa alasan.

Pertama, penanaman nilai moral dalam dunia pendidikan formal umumnya masih berupa seperangkat teori mentah, terlepas dari realitas hidup masyarakat. Kurang digali akar terjadinya diskoneksitas antara penanaman nilai moral dan praksis hidup moral dalam masyarakat.

Kedua, sebagai lembaga formal yang menyiapkan peserta didik untuk bertindak dan mentransformasi diri sesuai nilai-nilai moral, ternyata sekolah belum memiliki jaringan kerja sama yang erat dengan keluarga asal peserta didik, lembaga pemerintah, nonpemerintah, dan seluruh masyarakat.

Ketiga, adanya kesenjangan pandangan hidup antara mereka yang menjunjung tinggi dan melecehkan pesan moral dalam hidup sosial sehari-hari. Masih tumbuh subur kelompok sosial yang menghalalkan dan merestui segala cara dan jalan mencapai sasaran yang digariskan.

Setelah tampil sebagai sistem pendidikan terbaik se-Inggris tahun 2002, Burnmouth kembali menggarisbawahi pentingnya jaringan kerja sama antarunsur dunia pendidikan formal, nonformal, dan informal. Program dalam dunia pendidikan formal akan "berhasil" jika didukung unsur-unsur sosial dalam masyarakat. Tanpa kerja sama dan dukungan antaranasir sosial terkait, sosialisasi nilai-nilai moral sering mendapat kendala. Lembaga apa pun di masyarakat, entah milik pemerintah atau nonpemerintah, perlu mendukung perwujudan nilai-nilai moral yang disemai melalui dunia pendidikan formal. Perilaku yang korup, tak bertanggung jawab, dan manipulatif dengan sendirinya mengkhianati kaidah moral yang ingin diperkenalkan dunia pendidikan formal.

Nilai-nilai moral yang perlu disosialisasikan dan diterapkan di masyarakat kita dewasa ini umumnya mencakup:

Pertama, kebebasan dan otoritas: kebebasan memiliki makna majemuk dalam proses pendidikan formal, nonformal, dan informal. Selama hayat dikandung badan, tak seorang pun memiliki kebebasan mutlak. Manusia perlu berani untuk hidup dan tampil berbeda dari yang lain tanpa melupakan prinsip hidup dalam kebersamaan. Kebebasan manusia pada hakikatnya bukan kebebasan liar, tetapi kebebasan terkontrol. Kebebasan tanpa tanggung jawab mengundang pemegang roda pemerintahan dalam republik ini untuk menyelewengkan kuasa mereka demi kepentingan terselubung mereka. Kekuasaan yang seharusnya diterapkan adalah kekuasaan nutritif yang menyejahterakan hidup rakyat banyak;

Kedua, kedisiplinan merupakan salah satu masalah akbar dalam proses membangun negara ini. Kedisiplinan rendah! Sampah bertebaran, para pemegang kuasa menunjukkan posisi mereka dengan menggunakan "jam karet", aturan lalu lintas tak pernah sungguh-sungguh ditaati, tidak sedikit polantas hanya duduk-duduk di bawah pondok di sudut dan mengintai pelanggar lalu lintas; kedisiplinan mengatur lalu lintas memprihatinkan; banyak oknum disiplin dalam tindak kejahatan, seperti korupsi; kedisiplinan dalam penegakan hukum positif terasa lemah sehingga kerusuhan sosial sering terulang di beberapa tempat.

Ketiga, nurani yang benar, baik, jujur, dan tak sesat berperan penting dalam proses sosialisasi nilai moral dalam negara kita. Hati nurani perlu mendapat pembinaan terus-menerus supaya tak sesat, buta, dan bahkan mati. Para pemegang roda pemerintahan negara kita, para pendidik, peserta didik, dan seluruh anasir masyarakat seharusnya memiliki hati nurani yang terbina baik dan bukan hati nurani "liar" dan sesat. Keadaan sosial negara kita kini adalah cermin hati nurani anak-anak bangsa. Penggelapan dan permainan uang oleh pegawai-pegawai pajak, "pembobolan" uang di bank menunjukkan nurani manusia yang kian korup (bdk. John S Brubacher, Modern Philosophies of Education, New York: McGraw-Hill Book Company, 1978).

Ternyata bukan tanpa halangan untuk menjalankan pendidikan nilai-nilai moral di tengah kurikulum pendidikan formal yang terasa "mencekik". Bagaimanakah seorang pendidik bisa menanamkan nilai moral dalam sebuah kurikulum demikian? Ada beberapa kemungkinan.

Pertama, terbuka peluang bagi pendidik untuk menggali dan menanamkan nilai-nilai moral di bidang pelajaran yang dipegang selama ini.

Kedua, pendidik bisa menyisipkan ajaran tentang nilai moral melalui mitos-mitos rakyat.

Ketiga, kejelian/kreativitas pendidik menggali identitas nilai moral.

Jelas, penanaman nilai-nilai moral dalam dunia pendidikan formal sama sekali tak bersifat otonom, tetapi selalu terkait dunia lain di luar lingkaran dunia pendidikan formal. Lingkungan keluarga, pengusaha, RT, lurah, camat, bupati, wali kota, gubernur, penagih pajak, imigrasi, polisi, tentara, jaksa, pengadilan (negeri, tinggi), Mahkamah Agung, kabinet, dan presiden seharusnya memiliki dan menghidupi perilaku yang benar-benar mendukung proses penanaman, penerapan, dan sosialisasi nilai-nilai moral yang digalakkan para pendidik.

Pemerintah dan masyarakat diharapkan menjadi sekolah yang dapat mensosialisasikan (terutama dalam arti menghidupi) pendidikan nilai-nilai moral.

E. Pengembangan Manusia sebagai Makhluk Susila

Pribadi manusia yang hidup bersama itu melakukan hubungan dan interaksi baik langsung maupun tidak langsung . Di dalam proses antar hubungan dan interaksi itu tiap pribadi membawa identitas, kepribadian masing masing. Oleh karena itu keadaan yang cukup heterogen akan terjadi sebagai konsekuensi tindakan tindakan masing masing pribadi.
Keadaan interpredensi kebutuhan manusia lahir batin yang tiada batasnya akan berlangsung terus-menerus secara kontinyu. Dan ketertiban, kesejahteraan manusia, maka di dalam masyarakat ada nilai-nilai, norma-norma.
Asas pandangan bahwa manusia sebagai mahluk susila bersumber pada kepercayaan bahwa budi nurani manusia secara apriori adalah sadar nilai dan mengabdi norma-norma. Pendirian ini sesuai pula bila kita lihat pada analisis ilmu jiwa dalam tentang struktur jiwa (das Ich dan das Uber Ich). Struktur jiwa yang disebut das Uber Ich yang sadar nilai
-nilai esensia manusia sebagai mahluk susila. Kesadaran susila (sense of morality) tak dapat dipisahkan realitas sosial sebab justru adanya nilai-nilai, efektifitas nilai-nilai, berfungsinya nilai-nilai hanyalah dalam kehidupan sosial. tiap-tiap hubungan sosial mengandung moral. Atau dengan kata lain “Tiada hubungan sosial tanpa hubungan susila, dan tiada hubungan susila tanpa hubungan sosial”. Hubungan sosial harus dimaknai dalam makna luas dan hakiki. Yakni hubungan sosial horizontal ialah hubungan sesama antar manusia. Dan hubungan sosial-vertical yaitu hubungan pribadi dengan Tuhan. Hubungan sosial vertikal bersifat transcendental sering disebut hubungan rokhaniah pribadi. Akan tetapi kedua antar hubungan sosial tersebut sama sama riel di dalam kehidupan manusia, keduanya pasti dialami semua manusia. Hubungan sosial sering disebut hubungan religius yang dianggap hubungan pribadi dan bersifat perseorangan bukan masalah sosial. Hubungan sosial horisontal ialah hubungan sosial dalam arti biasa, maksimal ialah pada taraf etis atau kesusilaan (etika, nilai-nilai filsafat, adat-istiadat., hukum). Tetapi yang jelas semua nilai-nilai itu, atau prinsip pembinaan kesadaran asas normative itu menjadi kewajiban utama pendidikan. Asas kesadaran nilai, asas moralitas adalah dasar fundamental yang membedakan hidup manusia dari hidup mahluk-mahluk alamiah yang lain. Rasio dan budi nurani menjadi dasar adanya kesadaran moral itu. Dan bila moralitas ditafsirkan meliputi nilai-nilai religius, maka rasio budi nurani akan dilengkapi pula dengan kesadaran-kesadaran supernatural yang super rasional. Ketiga esensi tersebut di atas dikatakan sebagai satu kesatuan integritas adalah kodrat hakekat manusia secara potensial artinya oleh kondisi-kondisi lingkungan hidup manusia potensi-potensi tersebut dapat berkembang menjadi realita (aktualisasi) atau sebaliknya tidak terlaksana. Inilah sebabnya ada criteria di dalam masyrakat antara pribadi yang baik, yang ideal, dengan pribadi yang di anggap buruk atau asusila, tingkah laku yang kurang dikehendaki. (Noor Syam, 1984 : 169-196)

Hanya manusialah yang dapat menghayati norma-norma dalam kehidupannya sehingga manusia dapat menetapkan tingkah laku yang baik dan bersifat susila dan tingkah laku mana yang tidak baik dan bersifat tidak susila.
Setiap masyarakat dan bangsa mempunyai norma-norma, dan nilai-nilainya. Tidak dapat dibayangkan bagaimana jadinya seandainya dalam kehidupan manusia tidak terdapat norma-norma dan nilai-nilai tersebut. Sudah tentu kehidupan manusia akan kacau balau, hukum rimba, sudah pasti akan berlaku dan menjalar diseluruh penjuru dunia.
Melalui pendidikan kita harus mampu menciptakan manusia susila dan harus mengusahakan anak-anak didik kita menjadi manusia pendukung norma, kaidah dan nilai-nilai susila dan sosial yang di junjung tinggi oleh masyarakatnya. Norma, nilai dan kaidah tersebut harus menjadi milik dan selalu di personifikasikan dalam setiap sepak terjang, dan tingkah laku tiap pribadi manusia. Penghayatan personifikasi atas norma, nilai, kaidah-kaidah social ini amat penting dalam mewujudkan ketertiban dan stabilitas kehidupan masyarakat. Sebenarnya aspek susila kehidupan manusia sangat berhubungan erat dengan aspek kehidupan sosial. Karena penghayatan atas norma, nilai dan kaidah social serta pelaksanaannya dalam tindakan dan tingkah laku yang nyata dilakukan oleh individu dalam hubungannya dengan atau kehadirannya bersama orang lain. Aspek susila ini tidak saja memerlukan pengetahuan atas norma, nila, dan kaidah-kaidah yang terdapat dalam masyarakat, akan tetapi juga menuntut dilaksanakannya secara konkret apa yang telah diketahuinya tersebut dalam tingkah laku yang nyata dalam masyarakat.
Pentingnya mengetahui dan menerapkan secara nyata norma, nilai, dan kaidah-kaidah masyarakat dalam kehidupannya mempunyai dua alasan pokok,yaitu :
Pertama, untuk kepentingan dirinya sendiri sebagai individu. Apabila individu tidak dapat menyesuaikan diri dan tingkah lakunya tidak sesuai dengan norma, nilai dan kaidah social yang terdapat dalam masyarakat maka dimanapun ia hidup tidak dapat diterima oleh masyarakat. Dengan terkucilnya oleh anggota masyarakat yang lain, pribadi tersebut tidak akan merasa aman. Akibatnya dia tidak merasa betah tinggal di masyarakat , padahal setiap individu membutuhkan rasa aman dimana pun dia berada.akibatnya dia tidak merasa betah tinggal di masyarakat yang tidak menerimanya itu dengan demikian selanjutnya dia tidak dapat survive tinggal dimasyarakat tersebut sehingga ia harus mencari masyarakat lain yang kiranya dapat menerimanya sebagai anggota dalam masyarakat yang baru. Namun untuk itu, ia juga akan dihadapkan pada tuntutan dan masyarakat yang sama seperti yang dia alami dalam masyarakat terdahulu dimana dia pernah tinggal yaitu kemampuan untuk hidup dan bertingkah laku menurut norma, nilai dan kaidah masyarakat yang berlaku pada masyarakat yang baru, karena setiap masyarakat masing-masing mempunyai norma, nilai dan kaidah yang harus diikuti oleh anggotannya.
Kedua, untuk kepentingan stabilitas kehidupan masyarakat itu sendiri. Masyarakat tidak saja merupakan kumpulan individu, tetapi lebih dari itu, kebersamaan individu tinggal disuatu tempat yang kita sebut masyarakat telah menghasilkan dalam perkembangannya aturan-aturan main yang kita sebut norma, nilai, dan kaida-kaidah social yang harus diikuti oleh anggotanya. Norma, nilai dan kaidah-kaidah tersebut merupakan hasil persetujuan bersama untuk dilaksanakan dalam kehidupan bersama, demi untuk mencapai tujuan mereka bersama.
Dengan demikian, kelangsungan kehidupan masyarakat tersebut sangat tergantung pada dapat tidaknya dipertahankan norma, nilai dan kaidah masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat dapat dikatakan telah berakhir riwayatnya, apabila tata aturan yang berupa nilai, norma, dan kaidah kehidupan masyarakatnya telah digantikan seluruhnya dengan tata kehidupan yang lain yang diambil dari masyarakat lain, dalam hubungan in kita semua telah menyadari bahwa betapa pentingnya kewaspadaan terhadap infiltrasi kebudayaan asing yang akan membawa norma, nilai dan kaidah kehidupan yang asing bagi kehidupan kita. Kewaspadaan tersebut sangat penting bagi kehidupan kita agar kita bersama dapat mempertahankan eksistensi masyarakat dan bangsa Indonesia yang telah memiliki norma, nilai dan kaidah sendiri sebagai warisan yang tidak ternilai dari nenek moyang kita.

F. Krisis Moralitas

Masyarakat bereaksi cukup keras terhadap beberapa skandal moral yang menimpa para pejabat dan tokoh publik kita. Mulai dari reaksi terhadap skandal korupsi—yang semakin lama semakin melemah dan tidak jelas penanganannya—sampai skandal video mesum atau bahkan praktik perceraian dan poligami. Kalau dibaca secara objektif, reaksi masyarakat yang memprotes, mengecam, atau menolak skandal-skandal tersebut didasarkan pada tatanan moral dasar tertentu yang menjadi patokan hidup sehari-hari. Harus diakui, masyarakat umumnya berharap agar nilai-nilai moral dan pandangan-pandangan agama yang dianut dapat dipraktikkan secara konsekuen oleh setiap individu, termasuk para pejabat dan tokoh publik (Bdk kegundahan seorang Prof. Dr. A. Syafii Ma’arif dalam wawancara dengan Media Indonesia, 12 Februari 2007).

Harus diakui, semakin masyarakat bereaksi dan menunjukkan ketidaksenangan, skandal-skandal moral sepertinya terus saja dilakukan tanpa rasa bersalah. Kenyataan semacam ini menimbulkan pertanyaan seputar tingkat akseptabilitas terhadap nilai-nilai dan norma-norma moral yang berlaku selama ini. Orang bisa saja bertanya, “Ada apa dengan moralitas kita?” “Apakah para pejabat dan tokoh publik kita memiliki patokan moral tersendiri yang berbeda dengan yang ada dalam masyarakat?” Atau, jangan-jangan para pejabat dan tokoh publik tidak perlu diatur oleh norma-norma moral tertentu. Kemungkinan bahwa para pejabat publik berada di luar wilayah moralitas (beyond moral sphere) tampaknya sulit diterima, karena sejauh ini selalu ada sanksi terhadap skandal-skandal moral yang dilakukan pejabat dan tokoh publik. Katakan saja sanksi-sanksi administratif seperti recall dan pemecatan dari partai politik atau jabatan sampai hukuman penjara. Kenyataan ini sekaligus menepis anggapan bahwa tindakan atau perilaku tidak bermoral dilakukan karena faktor ketidaktahuan (ignorance) pelaku moral (moral agent) akan benar salahnya sebuah tindakan.

Jika bukan karena faktor ketidaktahuan, mengapa para pejabat dan tokoh publik kita terus saja melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral? Berbagai jawaban dapat saja dikemukakan, mulai dari mencari popularitas, mengekspresikan kekuasaan atau mungkin pemberontakan terhadap nilai moral dasar tertentu yang dirasa membelenggu. Dari kaca mata filsafat moral, beberapa skandal moral yang terjadi di negara kita dapat dibaca sebagai krisis atau pendangkalan (triviality) moralitas individu. Kita bisa saja sepakat dengan John Rawls yang mengatakan bahwa masing-masing kita adalah “pribadi moral” (moral person) yang memiliki kepekaan dan kesadaran tertentu terhadap nilai-nilai moral (dalam Peter Singer, 1979: 16-17). Faktor sebagai pribadi moral (moral person) inilah yang membuat kita berani mengkritik atau mengecam tindakan-tindakan tidak bermoral yang terjadi dalam masyarakat. Alasannya, setiap pribadi moral yang rasional seharusnya berperilaku berdasarkan pengertian yang tepat mengenai yang baik dan buruk secara moral. Dalam arti ini kita sebenarnya juga sepakat dengan pemikiran Aristoteles mengenai pentingnya pengertian yang tepat dalam menggerakkan dan mengarahkan setiap perilaku moral kita (Franz Magnis-Suseno, 1997: 37).

Masalahnya adalah pengertian yang tepat mengenai yang baik dan buruk secara moral tidak menjadi jaminan seseorang akan bertindak baik secara bermoral. Para pejabat dan tokoh publik yang melakukan skandal moral di republik ini bukan tidak memiliki pengertian yang tepat mengenai moralitas. Mereka sangat mengetahui nilai dan norma moral yang berlaku dalam masyarakat. Apalagi mereka adalah orang-orang beragama di mana ajaran agama selalu mendukung dan memperkuat nilai-nilai moral dasar yang berlaku dalam masyarakat. Kalau begitu, di mana letak permasalahannya?

Mengandaikan bahwa setiap individu adalah pribadi moral (moral person) yang rasional adalah penting dan perlu, antara lain supaya tuntutan justifikasi tindakan moral dapat diajukan. Pengertian yang tepat tentang yang baik dan buruk secara moral pun sama pentingnya, karena itu tidak mudah untuk dihilangkan begitu saja. Yang kurang dihayati oleh manusia dewasa ini—dan ini sekaligus menjadi krisis moralitas dalam dunia modern—adalah semakin melemahnya karakter individu untuk berkembang dan bertumbuh secara lebih mendalam (in depth) dan mengakar. Kita seringkali lupa bahwa untuk dapat bertindak benar secara moral, seseorang dituntut tidak hanya mengetahui manakah tindakan-tindakan yang benar atau salah secara moral, tetapi juga “membiarkan dirinya diarahkan dan dibimbing oleh kebenaran-kebenaran moral tersebut” (Charles Taylor, 1989: 28). Dan itu butuh tekad (commitment) dan kehendak (will) untuk terus mengevaluasi diri dan menjadi otentik dengan terus mengkritik kekurangan dan memperteguh kemampuan diri, dan bertekad untuk selalu memperbaiki diri.

Dalam bahasa yang lebih teknis-filosofis, ini adalah sebuah proses yang mengarah ke dalam diri sendiri, menekuni dan mengenal diri sendiri, dan dengan sadar terus membentuk diri sebagai seorang pribadi moral (moral person). Anehnya, justru proses seperti inilah yang ingin dihindari para pejabat publik dan politisi kita. Alih-alih memperkuat karakter moral pribadi, mereka lebih suka menjadi pribadi yang dangkal dan artifisial, mementingkan pengakuan sosial dan dukungan publik, memprioritaskan penampilan dan kesan publik (pencitraan), serta mengejar sejumlah pengakuan sosial lainnya. Mereka sepertinya beranggapan bahwa menjadi diri sendiri dan memperkuat karakter moral pribadi supaya perilakunya bisa diarahkan oleh nilai-nilai moral dasar adalah pilihan yang terlalu menuntut (demanding) dan tidak menguntungkan secara ekonomi atau politik. Modernitas memang mengajarkan orang untuk menjadi dangkal, munafik, gila hormat, haus kuasa, dan mengejar keuntungan ekonomi dan politik setinggi mungkin tanpa harus mempedulikan nilai dan norma moral yang ada. Tetapi, apakah kita harus mempersalahkan modernitas?

Karena itu, kalau kemudian kita harus memaknakan skandal-kandal moral yang sedang terjadi dalam masyarakat dewasa ini, yang harus ditegaskan adalah pertama, tindakan-tindakan tidak bermoral terjadi ketika orang menghindari proses menjadi diri sendiri dengan sejuta komitmen untuk membiarkan diri dikuasai dan diarahkan oleh nilai-nilai moral ideal. Kedua, perilaku-perilaku tidak bermoral terjadi letika dunia menyediakan segala fasilitas dan sarana yang dapat menghalangi proses pembentukan karakter moral pribadi, entah itu dalam bentuk kekayaan, kemajuan teknologi, kenikmatan gaya hidup, dan sebagainya.

Skandal-skandal moral akan terus terjadi di republik ini kalau seluruh proses pendidikan serta sosialisasi nilai dan norma gagal membentuk katakter pribadi yang kuat secara moral, yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai moral dasar yang dianutnya dan tidak kompromistis terhadap keadaan yang dihadapi. Pendidikan karakter dengan menginduksikan nilai-nilai moral dasar yang telah menjadi golden rule seperti menepati janji, konsekuen, jujur, dan adil dalam sebuah pengalaman belajar akan sangat membantu pembentukan karakter moral pribadi. Sementara itu, sanksi-sanksi sosial terhadap pelanggaran nilai dan norma yang tidak sebatas pada penegakan hukum positif, tetapi juga penolakan masyarakat terhadap eksistensi para pelaku tindakan tidak bermoral dapat menjadi sebuah pengalaman belajar yang penting dalam pembentukan pribadi moral (moral person).

Dengan begitu kita berharap bahwa pembentukan karakter moral pribadi perlahan-lahan mengarah kepada pembentukan karakter moral bangsa. Kita berharap bahwa individu-individu yang hidup baik secara moral karena memiliki karakter moral individu akan mempengaruhi karakter moral masyarakat secara keseluruhan. Di sini dibutuhkan keberanian dan tekad yang kuat untuk memulainya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: